Pertambangan di Indonesia menimbulkan banyak dampak negatif. Banyak bukti yang dapat kita jumpai secara terang-terangan dihadapan kita, baik tambang batu bara, tambang timah, tambang bijih besi, tambang emas dan lain sebagainya.
Tentu saja bila bicara perusahaan pertambangan pasti dia mempunyai AMDAL atau izin lingkungan. AMDAL sesungguhnya merupakan pedoman pengelolaan dan pemantauan lingkungan bagi perusahaan supaya kondisi lingkungan sekitar dapat berjalan dengan baik, kondisi ekologi dan sosial tidak terganggu dari kegiatan pertambangan yang dilakukan. Muncul pertanyaan saat ini, kenapa perusahaan pertambangan yang mempunyai AMDAL masih memunculkan masalah lingkungan dan sosial? Apa perusahaan itu mengindahkan segala rencana pemantauan ataupun pengelolaan lingkungan, atau bisa jadi AMDAL ini hanya sebagai pemenuhan syarat saja dalam berdirinya sebuah pertambangan.
Dampak negatif kegiatan pertambangan saat ini secara garis besar dapat dijelaskan seperti
Pertama, pertambangan menyebabkan dampak lingkungan karena merusak alam termasuk yang terkandung didalamnya sehingga menyebabkan bencana lingkungan. Apabila kegiatan pertambangan terus menerus dilakukan, maka kerusakan di wilayah tersebut tidak dapat dipulihkan kembali. Pemulihan kerusakan lingkungan yang ditmbulkan akibat pertambangan perbaikannya sangat mahal sekali, bahkan (katakanlah) kita tidak bisa memulihkan kembali seperti semula walaupun punya emas satu gunung.
Kedua, kegiatan pertambangan tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat sekitar. Perusahaan akan lebih senang menggunakan tenaga dari luar wilayah karena dianggap lebih ahli dan tidak mau memberdayakan masyarakat sekitar. Kondisi ini bisa saja terjadi karena memberdayakan masyarakat dianggap lebih boros, memakan waktu yang lama serta masyarakat belum tentu mau untuk diberdayakan, perusahaan lebih memilih melakukan corporate social responsibility (CSR) terhadap masyarakat sekitar.
Ketiga, dengan dibukanya pertambangan akan berdampak pada rusaknya mata pencaharian masyarakat sekitar. Konflik antara perusahaan dan masyarakat tidak bisa terindahkan yang seakan rebutan lahan, dan biasanya masyarakat selalu kalah dalam kasus ini. Lihat saja film yang viral beberapa waktu lalu yang berjudul “sexy killer”, bisa dibayangkan kerusakan mata pencaharian masyarakat yang terjadi di area pertambangan itu
Keempat, terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dimana untuk mensukseskan kegiatan pertambangan, banyak pihak perusahaan pertambangan merangkul ataupun bekerja sama dengan aparat keamanan seperti preman ataupun militer untuk memuluskan kegiatan pertambangan mereka. Apabila masyarakat sekitar dihadapkan dengan apparat keamanan seperti ini, maka bisa ditebak siapa yang akan menang dan menguasai lahan pertambangan tersebut. Bukan hanya masalah kekerasan ataupun intimidasi saja yang terjadi ketika dihadapkan dengan apparat keamanan seperti ini tetapi terjadi pengusiran bahkan ada warga masyarakat yang masuk dalam penjara
Masih banyak masalah yang dihadapi apabila berbicara tentang lahan tambang. Lahan tambang merupakan “lahan basah” bagi sebagian orang yang berduit untuk nge-modalin usaha pertambangan ini. Sebut saja “oligarki” yang maunya untung sendiri dengan memikirkan keuntungan pribadi dan golongannya tanpa memikirkan kondisi lingkungan dan sosial masyarakat sekitar. Oligarki disini (bisa jadi) bekerja sama dengan penguasa didaerah masing-masing bahkan sampai tingkat nasional.
Sistem perpolitikan di Indonesia melalui pemilihan umum (Pemilu) memerlukan biaya yang mahal untuk melancarkan niat sebagai penguasa. Kondisi ini memaksa seorang (katakanlah) calon kepala daerah untuk bekerja sama dengan para oligarki untuk membantu kebutuhan financial untuk kampanye dan lain sebagainya. Tentu saja calon kepala daerah ini bertransaksi dengan oligarki itu apabila nanti bisa terpilih menjadi kepala daerah. Banyak pihak mencurigai bahwa mudahnya izin-izin pertambangan ini dikarenakan berbagai transaksi-transaksi seperti ini.
(Copy Paste) Buku Komnas HAM, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada tahun 2016 dengan judul Pelanggaran HAM Dalam Eks Lubang Tamabng Batu Bara Di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa di daerah Kalimantan Timur yang merupakan salah satu dari Provinsi Utama Penghasil Batubara, terdapat 1488 izin tambang berskala IUP (Izin Usaha Pertambangan) seluruhnya, izin tambang IUP dikeluarkan oleh pemerintah daerah, provinsi dan kab/kota. Izin tambang yang diterbitkan oleh pemerintah pusat melalui kementerian ESDM yang disebut Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), di Kalimantan Timur terdapat 33 PKP2B, seluruh luas untuk IUP adalah 5,4 Juta Ha ditambah dengan luas PKP2B, 1, 8 Juta Ha, Total luas tambang mengkapling 7,2 Juta Ha dari 12,7 Juta Ha dari daratan Kaltim atau 70 persen dari daratan provinsi ini. Ini belum diakumulasikan dengan jenis Izin komoditas eksploitatif lain seperti Izin Usaha Pengusahaan Sektor Perkayuan (IUPHHK-Kayu), Wilayah Kerja (Migas), HTI hingga Ijin Perkebunan Sawit, maka daratan Kalimantan Timur penuh dikapling oleh tambang.
Respon terhadap kerusakan lingkungan dan masyarakat didaerah pertambangan ini perlu diambil oleh pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat. Keseriusan dan keberanian dari pemerintah juga dari pemangku kepentingan lainnya diharapkan menjadi solusi akan kerusakan lingkungan yang terjadi. Dengan sikap profesionalisme serta kejujuran pastilah bisa mengatasi problem seperti ini. Yang terpenting adalah berani mengungkap kebenaran fakta yang terjadi dilapangan, jangan sampai ditutup-tutupi. Tentu saja mengungkap fakta dilapangan tidaklah mudah, (apalagi kalau hasilnya jelek) pasti akan berhadapan dengan oknum-oknum yang berusaha menutup-nutupi kekurangan itu melalui intimidasi bahkan sampai kekerasan.
Kalau yang terjadi seperti ini terus sampai sumber daya di tanah air ini habis dikeruk. Siapa yang akan merugi, ya pasti bangsa kita sendiri. Negara kita akan mengalami paceklik yang berkepanjangan, tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri bahkan untuk sarapan soto saja sulit. Apa mau kita impor terus-terusan bahan pangan? Apa memang ada rencana impor terus? Apa memang ada yang senang impor terus? Jawabannya (insyaalloh) pasti ada.
Dengan fakta-fakta lapangan yang terjadi, apa kita masih percaya bahwa AMDAL jadi solusi mengatasi lingkungan? Lha wong nyatanya ndak bisa gitu lho. Apa perlu dihapus AMDAL itu? Kalau ini perlu dipikir matang-matang, jangan langsung ambil keputusan terkait AMDAL.
Sebagai masyarakat biasa, mestinya jangan terlalu cuek terhadap kondisi lingkungan yang ada, masyarakat harus peka dan tentunya tidak malas untuk belajar. Dokumen AMDAL itu bisa dibaca oleh umum, lha wong itu dokumen sebenarnya dipublikasikan kok, sehingga orang biasa pun bisa membaca dan mempelajarinya. Kalau masyarakat dapat membaca dokumen itu, pastinya pengawasan tidak cuma dari pemerintah saja, masyarakat bisa mengawasi benar atau tidaknya pengelolaan yang telah dilakukan.
Kendala lain, kalau masyarakat sudah menemukan masalahnya terus lapornya bagaimana, apa pemerintah cepat tanggap, apa pemerintah melindungi pelapor?
No comments: