Permasalahan Sampah Elektronik (E-Waste)


Seiring dengan perkembangan zaman, permintaan akan barang elektronik menjadi semakin tinggi. Tingginya penggunaan barang elektronik ini ditengarai karena masyarakat sangat bergantung pada barang elektronik sebagai penunjang kehidupannya. Kondisi seperti ini berimplikasi pada meningkatnya produksi barang elektronik yang dilakukan perusahaan, sehingga produk elektronik membanjiri pasaran. Sebagai contoh barang elektronik yang saat ini sedang mengalami peningkatan permintaannya yaitu Handphone, laptop, komputer, lampu bekas, Printer, TV, Air Conditioner dan lain sebagainya serta meningkatnya produksi komponen atau bagian kecil-kecil dari barang elektronik tersebut.




Namun yang perlu dicermati yaitu tidak setiap perusahaan memproduksi barang elektronik dengan kualitas yang baik, artinya barang elektronik tersebut bisa awet untuk digunakan, beberapa perusahaan juga memproduksi barang elektronik berkualitas buruk, sehingga pemakaiannya hanya sebentar saja. Perusahaan elektronik juga meng-update produk lama diganti dengan model baru yang mempunyai fitur yang lebih baik dari sebelumnya. Disisi lain, masyarakat tidak hanya menginginkan model terbaru untuk mendapat layanan-layanan yang terbaru, tetapi juga keinginan masyarakat yang ingin ganti saja karena gengsi ataupun ingin up to date.



Pada akhirnya, penggunaan barang elektronik yang telah usang atau tidak terpakai lagi akan meningkat dan menjadi sampah atau sering disebut e-waste atau sampah elektronik. Sebagian besar sampah elektronik ini dikategorikan sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), sebab kandungan yang ada didalam barang elektronik terbuat dari bahan seperti timbal, merkuri, kadmium, arsenik dan lain sebagainya. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) merupakan zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup manusia, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.



Masuknya sampah elektronik kedalam kategori limbah B3 tidak terlepas dari dampak negatif yang ditimbulkannya, salah satunya adalah kandungan logam berat meliputi timbal, berilium, merkuri, kadmium, kromium, arsenik, BFRs (Brominated Flame Retardants) dan lain sebagainya yang sangat sulit sekali terurai dilingkungan. Dampak negatif yang ditimbulkan ke manusia apabila sampah elektronik tidak dikelola dengan baik seperti menimbukan kanker, rusaknya sistem saraf otak, cacat bawaan ataupun keracunan apabila dilakukan pembakaran

Permasalahan sampah elektronik di Indonesia masih menjadi permasalahan yang krusial karena kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap bahaya sampah elektronik serta pengelolaannya, fasilitas penunjang pengelolaan sampah elektronik sampai dengan tekhnologi daur ulang yang dimiliki. Bahkan ditemukan juga negara-negara maju membuang sampah elektronik ke negara berkembang dalam jumlah besar dan secara illegal (Chatterjee, 2009). Pembuangan sampah elektronik dari negara maju ini menjadi permasalahan baru bagi negara berkembang seperti Indonesia. Padahal pengelolaan sampah elektronik di negara sendiri saja masih belum memadai fasilitasnya, apalagi ditambah dengan buangan dari negara lain. Hal tersebut semakin membahayakan bagi generasi-generasi berikutnya dalam menghadapi bahaya sampah elektronik ini.



Karakteristik timbulan sampah elektronik didominasi oleh sektor rumah tangga, baik di rumah tapak, apartemen, rumah susun dan lain sebagainya seperti lampu bekas (lampu TL, lampu PL, lampu pijar dll), handphone, kipas angin, laptop, televisi, air conditioner, setrika, lemari es dan blender, rice cooker, computer, dispenser dan mixers, printer dan lain-lain. Dengan karakteristik sampah elektronik seperti itu biasanya masyarakat memperlakukan sampah elektronik seperti (1) dibuang bersama dengan sampah lain, (2) memperbaiki dengan mengganti komponen yang rusak, (3) mengalihfungsikan sampah elektronik menjadi benda lain, contoh TV menjadi aquarium, (4) disimpan di suatu ruangan dan tidak digunakan lagi.

Masyarakat belum sepenuhnya menyadari bahaya sampah elektronik ini. Dampak ketidak tahuan ini akan berakibat pada rentannya para pelaku usaha terpapar bahaya dari sampah elektronik ini seperti tukang reparasi, pengepul, pelaku daur ulang dan lain sebagainya. Dibeberapa lokasi juga ditemukan pengumpul sampah elektronik semakin banyak terakumulasi, sebab sampah elektronik tidak sepenuhnya bias dimanfaatkan kembali sehingga sisa dari sampah elektronik yang tidak bias dimanfaatkan ini biasanya langsung dibakar atau dibuang begitu saja. Namun, ada beberapa pelaku usaha pemanfaat sampah elektronik mampu mengekstrak emas, perak dan logam berharga.





Pengelolaan sampah elektronik ini memang diharapkan dapat ramah lingkungan dan dilakukan secara profesional. Namun saat ini yang terjadi adalah kebanyakan pengelolaan sampah elektronik dilakukan secara informal yang biasanya dilakukan dengan biaya yang sangat murah bahkan tidak menggunakan tekhnologi sama sekali dalam pengelolaannya. Peningkatan sampah elektronik dari waktu ke waktu yang semakin meningkat ini hendaknya juga diimbangi dengan solusi yang dapat mengurangi timbulan sampah elektronik yang ada. Sektor formal dari pemerintah daerah ataupun pusat sangat diharapkan dalam pengelolaan sampah elektronik ini, kiranya pemerintah dapat mengalokasikan dana untuk pengelolaan sampah elektronik ini. Khususnya pemerintah daerah yang harusnya mengambi inisiatif, dimana pemerintah daerah pasti lebih tahu akan kuantitas sampah elektronik yang dihasilkan didaerahnya masing-masing sedangkan pemerintah pusat men-support apabila pemerintah daerah kekurangan dana. Salah satu yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan sistem MRF (Material Recovery Facility), dimana dalam sistem ini sampah elektronik akan dilakukan lebih lanjut yaitu reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan.





Selanjutnya, perlu adanya regulasi yang spesifik mengatur sampah elektronik. Regulasi tersebut dapat diinisiasi oleh pemerintah daerah supaya mencegah permasalahan yang lebih serius lagi kedepannya. Selain itu, partisipasi masyarakat juga perlu dibangun dengan tidak menganggap bahwa sampah elektronik sama dengan sampah lain serta masyarakat juga perlu disosialisasikan tentang bahaya sampah elektronik apabila tidak dikelola dengan baik.




REFFERENCE

Chatterjee, S., Kumar, K. 2009. ”Effective Electronic Waste Management and Recycling Process Involving Formal and Non-Formal Sectors”. International Journal of Physical Sciences, Vol 4 (13), p. 893-905.

Permasalahan Sampah Elektronik (E-Waste) Permasalahan Sampah Elektronik (E-Waste) Reviewed by Deni Perdana on 5:56 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.