Jenis Bahan Koagulan dan Bahan Pembantu Pada Pengolahan Air Limbah

Proses pengolahan air limbah salah satunya yaitu dengan menggunakan proses koagulasi dan floakulasi. Proses ini dilakukan untuk mengurangi partikel koloid, dimana partikel koloid ini merupakan penyebab utama kekeruhan dalam air.



Koagulasi adalah proses destabilisasi koloid dengan penambahan senyawa kimia atau disebut juga zat koagulan yang diaduk secara cepat. Sedangkan floakulasi adalah proses penggumpalan (agglomeration) pada pengadukan lambat dari beberapa koloid yang tidak stabil menjadi gumpalan partikel halus (mikroflok) kemudian menjadi gumpalan partikel yang lebih besar sehingga partikel tersebut dapat diendapkan dengan cepat. Treatment ini dilakukan yang salah satu alasannya yaitu partikel koloid ini sangat sulit sekali mengendap secara normal.


Dalam destabilisasi koloid, untuk menjadikan koloid menjadi gumpalan partikel yang mengendap secara cepat, diperlukan senyawa kimia yang diberikan supaya pembentukan flok menjadi lebih cepat dan stabil yang dinamakan floakulan atau zat pembantu floakulasi (floacculant aid) begitu pula pada proses kogalusai juga diperlukan penambahan senyawa kimia dinamakan koagulan.


Zat koagulan berfungsi untuk mengumpulkan partikel-partikel padat tersuspensi, zat warna, koloid dan lain sebagainya menjadi gumpalan besar (flok). Hal ini supaya pembentukan gumpalan partikel yang besar (flok) dapat mengendap dengan cepat pada bak pengendap, sedangkan untuk zat alkali dan zat pembantu koagulan berfungsi sebagai pengatur pH agar menunjang proses floakulasi serta membantu pembentukan flok dapat berjalan dengan cepat dan baik


Untuk merangsang partikel koloid membentuk suatu gumpalan yang lebih besar memerlukan dua cara yaitu mendestabilisasikan partikel dan pemindahan partikel. Destabilisasi partikel dapat dicapai melalui cara penekanan lapisan ganda listrik, penyerapan untuk netralisasi penjeratan pada presipitasi, dan pembentukan antar partikel (Benefield, 1982)


Proses koagulasi dan floakulasi akan berhasil tergantung pada beberapa faktor seperti dosis koagulan yang diberikan, suhu air limbah, pH, alkalinitas. Pemberian diosis juga perlu disesuaikan dengan karakteristik air limbah yang akan diolah. Maka dari itu, untuk mengetahui dosis yang sesuai diperlukan pengujian di laboratorium dengan menggunakan alat yang disebut jartest (Nathanson, 1977)


Pertimbangan pemilihan zat koagulan didasarkan pada jumlah kualitas air yang akan diolah, kekeruhan air baku, metode filtrasi, serta sistem pembuangan lumpur endapan. Berikut beberapa jenis zat koagulan:


1.   Alumunium Sulfat (Alum)

Alumunium Sulfat merupakan koagulan anorganik. Garam aluminium sulfat apabila ditambahkan ke dalam air dengan mudah akan larut dan akan bereaksi dengan HCO3- sehingga menghasilkan alumunium hidroksida yang mempunyai muatan positif. Sedangkan, biasanya partikel-partikel koloid yang terkandung pada air baku biasanya bermuatan negatif dan sukar sekali mengendap karena adanya gaya tolak menolak antar partikel.


Dengan ditambahkannya alumunium hidroksida yang bermuatan positif maka akan terjadi tarik menarik antar partikel yaitu partikel koloid bermuatan negatif dengan aluminium hidroksida yang bermuatan positif sehingga memacu terbentuknya gumpalan partikel-partikel yang semakin lama akan semakin membesar. Selain partikel koloid yang menggumpal dan ikut mengendap bersama-sam, berbagai jenis partikel yang ikut menggumpal yaitu zat organik, zat organik tersuspensi, bakteri maupun beberapa organisme. Apabila alkalinitas air baku tidak cukup untuk dapat bereaksi dengan alum maka dapat ditambahkan kapur (lime) atau soda abu supaya reaksi dapat berjalan dengan baik.


Alum merupakan bahan yang sangat populer dalam pengolahan limbah karena harganya yang murah dan flok yang dihasilkan stabil serta cara pengerjaannya mudah, selain itu alum sangat efektif untuk air limbah dengan kekeruhan yang tinggi dan sangat baik dipakai bersama-sama dengan zat koagulan pembantu serta tidak menimbulkan pengotoran yang serius pada dinding bak. Alum diproduksi dalam bentuk padatan dan cair.


Penggunaan alum cair sering digunakan dalam zat koagulan karena transportasi dan pengerjaannya relatif mudah. Namun kendalanya apabila dalam kondisi suhu yang rendah dan pada konsentrasi yang tinggi maka akan terjadi pengkristalan Al2O3 yang sehingga mengakibatkan penyumbatan pada sistem perpipaan. Oleh karena itu, konsentrasi Al2O3 perlu diatur yang biasanya 8 – 8,2%.


2.  Poly Alumunium Chloride (PAC)

PAC merupakan koagulan anorganik yang mempunyai sifat (1) tingkat adsorpsi yang kuat, (2) mempunyai kekuatan lekat, (3) pembentukan flok-flok yang tinggi dengan dosis kecil dan (4) tingkat sedimentasi cepat (Echanpin, 2005). PAC mempunyai dosis yang bervariasi dan sedikit menurunkan alkalinitas.


PAC merupakan bentuk polimerisasi kondensasi dari garam alumunium dengan bentuk cair. Kelebihan PAC yaitu kecepatan pembentukan flok yang sangat cepat sehingga cepat sekali mengendapnya kurang lebih 3 – 4,5 cm/menit dan pada suhu rendah dapat menghasilkan flok yang baik serta efektif digunakan pada saat kekeruhan yang tinggi, sangat berbeda apabila dibandingkan dengan alum.


Karakteristik PAC yaitu padatan berwarna kuning jernih dengan titik didih 1000 C dan titik beku -120C. PAC mengandung ion garam alumunium yang dibentuk menjadi polimer-polimer yang berasal dari sekelompok ion yang dihubungkan atom oksigen. Polimer ini berbentuk cairan garam alumunium yang sebagian telah dinetralkan melalui reaksi dengan basa. Derajat polimerisasi meningkat seiring dengan besarnya netralisasi. Netralisasi ini mengubah karakteristik cairan.


3.  Ferrous Sulfat (Copperas)

Ferrous Sulfat ini biasanya diproduksi dalam bentuk Kristal berwarna hijau dengan kandungan Fe(SO4) kurang lebih 55%. Bahan ini biasanya digunakan bersama-sama dengan kapur, hal ini bertujuan untuk menaikkan pH sehingga ion ferro yang terendapkan dalam bentuk ferri hidroksida. Kondisi pH yang sesuai yaitu diantara 9 – 11


Ferrous Sulfat ini sangat efektif digunakan untuk pengolahan air yang mempunyao alkalinitas, kekeruhan dan DO yang tinggi, namun kurang sesuai untuk menghilangkan warna. Penggunaan Ferrous Sulfat yang disandingkan dengan kapur secara bersama-sama akan lebih sulit prosesnya dan dapat memperbesar kesadahan air.


4.  Ferri Klorida (FeCl3)

Penggunaan Ferri Klorida memiliki kelebihan yaitu proses koagulasi dapat dilakukan pada selang pH yang lebih besar (antara 4 – 9). Dengan rentang pH yang sangat besar makan penggunaan koagulan ini lebih menguntungkan dalam pengolahan air limbah mengingat kondisi pH dalam air limbah bervariasi, sehingga meminimalkan kegagalan dalam pengolahan di unit koagulasi dan floakulasi.

Flok yang dihasilkan lebih berat sehingga cepat mengendap, efektif menghilangkan warna, bau dan rasa. Koagulan ini biasanya digunakan dalam pengolahan limbah industri khususnya pada industri tekstil.


5.  Ammonia Alum (NH4)2(SO4). Al2(SO4)3. 24 H2O

Zat koagulan ini memiliki kelarutan dalam air yang lebih lama dan koagulasinya lebih rendah dibandingkan dengan alum. Penggunaan ammonia alum biasanya digunakan untuk air limbah yag tidak memiliki kekeruhan yang tinggi dan untuk instalasi yang kecil.

Cara penggunaan ammonia alum dapat dilakukan dengan menggunakan pot type feeder. Ammonia Alum diletakkan dalam bejana, kemudian air dilewatkan ke dalam bejana tersebut sehingga sebagian zat akan larut, selanjutnya larutan yang terjadi diinjeksikan ke air yang akan diolah.


6.   Natrium Aluminat

Zat koagulan ini bersifat sebagai koagulan dan zat alkali serta efektif dalam menghilangkan zat warna. Penggunaan Natrium Aluminat jarang sekali digunakan untuk pengolahan air minum karena daya koagulasinya tidak begitu kuat. Namun, untuk pengolahan air biasanya digunakan bersama dengan alum karena dapat membentuk flok dengan cepat.





Cara menentukan Dosis Koagulan

Dalam menentukan dosis koagulan supaya lebih efektif dan efisien terutama meminimalkan biaya yang dikeluarkan dalam menggunakan zat koagulan perlu diketahui karakteristik limbah yang akan diolah seperti tingkat kekeruhan, pH, alkalinitas, temperature operasi, kandungan besi, mangaan, mikroorganisme dll.


Menurut Davis dan Cornwell (1991) ada tiga hal penting yang harus diperhatikan ketika memilih suatu koagulan, yaitu (1) Kation bervalensi tiga (trivalen) merupakan kation yang paling efektif untuk menetralkan muatan listrik koloid, (2) tidak beracun, (3) tidak larut dalam kisaran pH netral (Koagulan yang ditambahkan harus terendapkan dari larutan sehingga ion-ion tersebut tidak tertinggal dalam air)


Dosis yang dibutuhkan dalam menentukan zat koagulan menurut Kamulyan (1996) dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu (1) kualitas air, terutama kekeruhan, pH dan alkalinitas, (2) jumlah dan karakteristik bahan koloid, (3) karakteristik ion dalam air, (4) pengadukan yang diaplikasikan, terutama besar daya dan lama pengadukan


Penggunaan dosis koagulan yang berlebihan ataupun kurang berakibat penurunan efisiensi padatan. Keadaan tersebut dapat diminimalkan dengan melakukan jartest dan memverifikasi kinerja proses setelah melakukan perubahan dalam operasi proses koagulasi.


Hasil jartest sebaiknya perlu diimplementasikan dengan hati-hati kemudian perlu dilakukan optimalisasi kondisi proses pada jenis koagulan yang digunakan sebelum digunakan untuk memodifikasi dan control terhadap instalasi pengolahan. Hasil jartest tersebut juga berguna untuk memprediksi biaya operasi.



Cara Menentukan Zat Koagulan Pembantu


Penggunaan zat koagulan pembantu terkadang diperlukan untuk medapatkan pembentukan flok secara cepat sehingga flok dapat mengendap dengan cepat. Penambahan zat koagulan pembantu akan sangat efektif karena dapat mengurangi dosis bahan koagulan dan menghilangkan bahan organik yang sering memberi warna pada air, selain itu penghematan biaya operasional pembelian bahan koagulan juga dapat ditekan.


Kondisi yang dapat memaksa untuk menggunakan koagulan pembantu salah satunya ketika air baku mempunyai kekeruhan yang tinggi, sebagai contoh setelah hujan, musim dingin ataupun pada saat produksi sedang meningkat. Penggunaan koagulan biasa sering kali tidak bisa menghasilkan flok yang baik, sehingga mengganggu proses selanjutnya dan tentunya output limbah yang dihasilkan bisa kurang optimal bahkan bisa dibawah baku mutu yang telah ditetapkan.


Sebagai contoh, zat koagulan tambahan yang digunakan sebagai pengatur pH yaitu menggunakan silika aktif, lempung dan polimer.  Dalam kondisi interval optimum diproses koagulasi, Asam alkali dapat digunakan sebagai pengatur pH. Sama halnya dengan lempung, material ini seperti halnya silika aktif dimana mereka mempunyai muatan negatif yang kecil dan menambah berat flok.


Pemilihan zat koagulan pembantu harus dapat menghasilkan flok yang cepat dan stabil serta tidak berbahaya bagi bagi kesehatan. Oleh karena itu, perlu penentuan dosis zat koagulan pembantu dengan pertimbangan pada keadaan normal dosis silika aktif misalnya 1 – 5 ppm sebagai SiO2 dan untuk natrium alginate antara 0,2 – 2 ppm.
Jenis Bahan Koagulan dan Bahan Pembantu Pada Pengolahan Air Limbah Jenis Bahan Koagulan dan Bahan Pembantu Pada Pengolahan Air Limbah Reviewed by Deni Perdana on 8:34 PM Rating: 5

1 comment:

Powered by Blogger.