Keunggulan proses lumpur aktif ini adalah dapat mengolah air limbah dengan beban organik yang besar sehingga tidak memerlukan tempat yang besar. Selain itu, proses lumpur aktif memiliki keunggulan dapat menghasilkan air olahan dengan kualitas yang baik dengan biaya operasi dan pemeliharaan yang wajar (Bhargava, 2016).
Berbagai pilihan untuk melakukan desain
pengolahan air limbah dengan pemilihan proses lumpur aktif, namun secara prinsip
bahwa proses lumpur aktif terdiri dari 3 (tiga) komponen utama yaitu: 1) bak
atau tangki aerasi yang mempunyai fungsi untuk reaktor biologis, 2) bak atau
tangki pengendapan akhir (final clarifier) sebagai pemisah padatan dari lumpur
aktif dan air limbah yang sudah diolah, 3) sebagai alat sirkulasi lumpur aktif
(return activated sludge, RAS) yang berfungsi untuk mentransfer lumpur aktif
yang mengendap di bak pengendap akhir ke influen bak aerasi (Rainier. et.al.,
2015).
Karakteristik penting yang perlu
diperhatikan dalam proses pengolahan lumpur aktif yaitu resirkulasi biomasa
dalam jumlah yang besar dari bak pengendap akhir menuju ke bak aerasi. Dengan
adanya resirkulasi biomasa yang besar ini menyebabkan waktu tinggal rata-rata
(umur lumpur) menjadi lebih besar dibandingkan dengan waktu tinggal hidroliknya
(Sterrit and Lester, 1988). Namun demikian, dengan adanya resirkulasi biomasa dalam
jumlah yang besar tersebut dapat menjaga mikrooraganisme mengoksidasi senyawa organik
dengan efektif dalam waktu yang relatif singkat (Bitton, 1994).
Di dalam bak aerasi, terdapat udara
yang dihembuskan ke dalam air limbah dengan maksud menambahkan kandungan
oksigen terlarut didalam air limbah. Dengan adanya oksigen di dalam air limbah ini,
menyebabkan polutan organik akan diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di
dalam air limbah dan diubah menjadi biomassa atau flok biologis yang disebut
lumpur aktif. Campuran air limbah dan biomassa di dalam bak aerasi umumnya dikenal
sebagai mixed liquor suspended solids (MLSS). Dengan proses lumpur aktif sebagian
besar polutan organik yang ada di dalam influen air limbah akan diuraikan secara
biologis dan sebagian secara kimia di dalam bak aerasi.
Efisiensi penghilangan polutan
organik dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda misalnya waktu tinggal hidrolik
(Hydraulic Retention Time, HRT) di dalam bak aerasi, yang didefinisikan sebagai
volume bak aerasi dibagi dengan debit air limbah yang masuk. Faktor lain adalah
beban influen yakni konsentrasi zat organik (BOD, COD), konsentrasi amoniak, suplai
udara atau oksigen, pengaruh suhu dan lainnya. Efluen dari bak aerasi selanjutnya
dilairkan ke bak pengendap akhir.
Di dalam bak pengendap akhir
lumpur aktif, polutan organik diendapkan atau dipisahkan antara air limbah dan
air hasil olahan menuju ke bawah tangki pengendap yang selanjutnya dikembalikan
lagi ke inlet bak aerasi untuk menguraikan polutan yang ada didalam air limbah.
Sedangkan air jernih hasil olahan berada pada bagian atas bak pengendap
(supernatant) dibuang ke saluran umum apabila telah memenuhi standar baku mutu atau
diolah dengan proses lanjutan lainnya. Jumlah lumpur yang disirkulasi diatur supaya
didapat konsentrasi MLSS seperti yang diharapkan agar proses dapat berjalan
dengan baik.
Di dalam penguraian polutan secara
biologis, sebagian substrat akan digunakan untuk pertumbuhan biomassa sehingga akan
terjadi akumulasi konsentrasi biomassa (MLSS) di dalam bak areasi. Oleh karena itu,
untuk mendapatkan konsentrasi MLSS sesuai dengan yang diharapkan maka kelebihan
lumpur aktif harus dibuang dan dialirkan ke unit pengolahan lumpur (sludge
treatment) baik secara anaerobik atau aerobik sebelum dibuang. Proses
pengolahan air limbah sistem lumpur aktif standar secara sederhana dapat dilihat
pada Gambar 2 (JSWA, 1984).
Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pengolahan air limbah dengan proses lumpur aktif adalah
Beban Organik (BOD/COD Loading
Rate Atau Volumetric Loading Rate)
Beban BOD adalah jumlah massa BOD
di dalam air limbah yang masuk (influent) dibagi dengan volume reaktor atau bak
aerasi (JSWA, 1984; Ebie and Ashidate, 1992). Beban BOD dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
Kg/m3.hari
Dimana
Q = Debit air limbah yang masuk
(m3/hari).
S0 = Konsentrasi BOD/COD di dalam
air limbah yang masuk (kg/m3).
V = Volume reaktor (m3).
Dalam proses lumpur aktif standar
beban organik (beban BOD) berkisar antara 0,3 – 0,8 kg/m3. hari
Mixed-liqour suspended solids
(MLSS)
Isi di dalam bak aerasi pada
proses pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif disebut sebagai mixed
liqour yang merupakan campuran antara air limbah dengan biomassa mikroorganisme
serta padatan tersuspensi lainnya. MLSS adalah jumlah total dari padatan
tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk di dalamnya
adalah mikroorganisme. MLSS ditentukan dengan cara menyaring lumpur campuran
dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan pada temperatur 105 0C,
dan berat padatan dalam contoh ditimbang
Mixed-liqour volatile suspended
solids (MLVSS)
Porsi material organik pada MLSS
diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup
dan mati, dan hancuran sel (Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur dengan memanaskan
terus sampel filter yang telah kering pada 600-650 0C, dan untuk
proses lumpur aktif yang baik memiliki nilai MLVSS mendekati 65-75% dari MLSS.
Food-To-Microorganism Ratio Atau
Food-To Mass Ratio Disingkat F/M Ratio
Parameter ini menunjukkan jumlah zat
organik (BOD) yang dihilangkan dibagi dengan jumlah massa mikroorganisme di dalam
bak aerasi atau reaktor. Besarnya nilai F/M ratio umumnya ditunjukkan dalam kilogram
BOD per kilogram MLLSS per hari (Curds dan Hawkes, 1983; Nathanson, 1986). F/M dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana:
Q = Laju air limbah m3/hari
So = Konsntrasi BOD didalam air
limbah yang masuk ke bak areasi (reaktor) (kg/m3).
S = Konsentrasi BOD di dalam effluent
(kg/m3)
MLSS = Mixed liquor suspended solids
(kg/m3).
V = Volume reaktor atau bak
aerasi (m3).
Cara melakukan kontrol Rasio F/M yaitu
dengan cara mengatur laju sirkulasi lumpur aktif mulai dari bak pengendapan akhir
yang disirkulasi ke bak aerasi. Lebih tinggi laju sirkulasi lumpur aktif lebih tinggi
pula rasio F/M-nya. Untuk pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif konvensional
atau standar, rasio F/M adalah 0,2 - 0,5 kg BOD5 per kg MLSS per hari, tetapi dapat
lebih tinggi hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni (Hammer, 1986). Rasio F/M yang
rendah menujukkan bahwa mikroorganisme dalam tangki aerasi dalam kondisi lapar,
semakin rendah rasio F/M pengolah limbah semakin efisien
Hidraulic Retention Time (HRT)
Atau dapat disebut juga Waktu Tinggal
hidraulik (HRT) yang dapat diartikan sebagai waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh
larutan influen masuk dalam tangki aerasi untuk proses lumpur aktif; nilainya
berbanding terbalik dengan laju pengenceran (dilution rate, D) (Sterritt dan
Lester, 1988).
HRT = 1/D = V/ Q dimana :
V = Volume reaktor atau bak
aerasi (m3).
Q = Debit air limbah yang masuk ke
dalamTangki aerasi (m3/jam).
D = Laju pengenceran (jam-1).
Ratio Sirkulasi Lumpur (Hidraulic
Recycle Ratio, HRT)
Ratio sirkulasi lumpur merupakan
suatu perbandingan antara jumlah lumpur yang disirkulasikan ke bak aerasi
dengan jumlah air limbah yang masuk ke dalam bak aerasi.
Umur lumpur (Sludge Age)
Istilah ini sering disebut waktu tinggal
rata-rata cel (mean cell residence time). Parameter ini menujukkan waktu tinggal
rata-rata mikroorganisme dalam sistem lumpur aktif. Jika HRT memerlukan waktu
dalam jam, maka waktu tinggal sel mikroba dalam bak aerasi dapat dalam hitungan
hari. Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan mikroba. Umur lumpur
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hammer, 1986; Curdsdan Hawkes,
1983)
Dimana:
MLSS = Mixed liquor suspended solids
(mg/l).
V = Volume bak aerasi (m3).
SSe = Padatan tersuspensi dalam
effluent (mg/l).
SSw = Padatan tersuspensi dalam air
limbah (mg/l)
Qe = Laju effluent limbah
(m3/hari)
Qw = Laju influent limbah
(m3/hari).
Umur lumpur diantara 5 - 15 hari
untuk sistem lumpur aktif konvensional, namun demikian pada musim dingin umur
lumpur dapat menjadi lebih lama dibandingkan pada musim panas (U.S. EPA, 1987).
Parameter penting yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah beban organik
atau beban BOD, suplay oksigen, dan pengendalian dan operasi bak pengendapan akhir.
Bak pengendapan akhir mempunyai dua fungsi yakni untuk penjernihan
(clarification) dan pemekatan lumpur (thickening).
Campuran air limbah dan lumpur
(mixed liqour) dipindahkan dari tangki aerasi ke bak pengendapan akhir. Di
dalam bak pengendapan akhir ini, lumpur yang mengandung mikroorganisme yang masih
aktif dipisahkan dari air limbah yang telah diolah. Sebagian dari lumpur yang
masih aktif ini dikembalikan ke bak aerasi dan sebagian lagi dibuang dan
dipindahkan ke pengolahan lumpur. Sel - sel mikroba terjadi dalam bentuk
agregat atau flok, densitasnya cukup untuk mengendap dalam tangki penjernih. Pengendapan
lumpur tergantung rasio F/M dan umur lumpur.
Pengendapan yang baik dapat
terjadi jika lumpur mikroorganisme berada dalam fase endogeneous, yang terjadi jika
karbon dan sumber energi terbatas dan jika pertumbuhan bakteri rendah. Pengendapan
lumpur yang baik dapat terjadi pada rasio F/M yang rendah (contoh : tingginya konsentrasi
MLSS). Sebaliknya, rasio F/M yang tinggi mengakibatkan pengendapan lumpur yang
buruk. Dalam air limbah domestik, rasio F/M yang optimum antara 0,2 - 0,5
(Gaudy, 1988 ; Hammer, 1986).
Rata-rata waktu tinggal sel yang
diperlukan untuk pengendapan yang efektif adalah 3 - 4 hari (Metcalf dan Eddy, 1991).
Pengendapan yang tidak baik dapat terjadi akibat gangguan yang tiba-tiba pada
parameter fisik (suhu dan pH), kekurangan makanan (contoh N, suhu,
mikro-nutrien), dan kehadiran zat racun (seperti logam berat) yang dapat menyebabkan
hancurnya sebagian flok yang sudah terbentuk (Chudoba, 1989). Untuk operasi rutin,
operator harus mengukur laju pengendapan lumpur dengan menentukan indeks volume
lumpur (sludge volume index, SVI) (Forster dan Johnston, 1987).
Cara konvensional untuk mengamati
kemampuan pengendapan lumpur adalah dengan menentukan Indeks Volume Sludge (Sludge
Volume Index = SVI). Caranya adalah sebagai berikut: campuran lumpur dan air
limbah (mixed liquor) dari bak aerasi dimasukkan ke dalam silinder kerucut
volume 1 liter dan dibiarkan selama 30 menit. Volume sludge dicatat. SVI adalah
menujukkan besarnya volume yang ditempati 1 gram lumpur (sludge). SVI dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut :
SV x 1000 SVI (ml/g) = mililiter
per gram MLSS
No comments: