Perspektif Nilai Ekologi, Ekonomi dan Sosial Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Dengan semakin berkembangnya pola pikir dan bertambahnya penduduk maka pemenuhan akan kebutuhan semakin tinggi. Hasil dari pola pikir dan adanya tuntutan karena banyaknya kebutuhan maka muncullah penemuan teknologi canggih dan penemuan ini memungkinkan untuk melakukan produksi barang secara besar-besaran melalui proses industri.

Industrialisasi muncul dari negara Inggris kurang lebih pada abad 18-an yang secara umum disebut dengan revolusi industri, dimana terjadinya peralihan dalam penggunaan tenaga hewan dan manusia kemudian diganti dengan penggunaan mesin berbasis manufaktur. industrialisasi berarti munculnya kompleks industri yang besar di mana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang sarana produksi, diusahakan secara massal (Dharmawan; 1986:18) Perubahan secara besar-besaran ini terjadi hampir disemua lini untuk pemenuhan kebutuhan manusia meliputi bidang pertanian, pertambangan, transportasi, tekhnologi dan lain sebagainya. Ekspansi perdagangan juga terus dikembangkan dengan dibangunnya jalan raya dan rel kereta api.
Dengan adanya revolusi industri ini meningkatkan perekomian dan memacu terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota sehingga menyebabkan peningkatan populasi penduduk yang terkonsentrasi di kota-kota besar. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan makin membesarnya area konsentrasi penduduk, sehingga menimbulkan apa yang dikenal dengan nama daerah perkotaan (Firman; 2005:3).

Namun demikian, akibat dari berkembangnya wilayah perkotaan dapat menimbulkan dampak positif terhadap berbagai sisi kehidupan seperti sektor ekonomi lebih bervariasi, berkembangnya bidang wiraswasta, bekembangnya pendidikan, meluasnya kota ke arah pinggiran sehingga transportasi lebih lancar, meningkatnya harga tanah baik di kota ataupun pinggiran kota, berkembangnya industrialisasi sebab tenaga kerja yang murah dan melimpah (Bintoro; 1986:13). Namun, urbanisasi juga mempunyai dampak negatif, seperti pertambahan penduduk yang sangat cepat sehingga daya dukung lingkungan perkotaan berkurang, polusi udara dan kebisingan akibat dari kegiatan transportasi ataupun industri, meningkatnya limbah hasil dari rumah tangga ataupun industri yang tidak diolah dengan baik.
Minimnya Lahan Akibat dari Meningkatnya Pembangunan

Seharusnya ekologi dan ekonomi harus saling mendukung dan sejalan dalam perkembangannya yaitu sama-sama meningkatkan kesejahteraan dan mempertahankan kelangsungan hidup, sehingga diperlukan dukungan seluruh komponen lingkungan hidup. Dimana setiap kegiatan ekonomi mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan biotik meliputi makhluk hidup baik flora ataupun fauna dan juga lingkungan abiotik meliputi air, udara dan tanah.

Pertumbuhan ekonomi perlu juga dilihat dari faktor yang diperlukan dalam pertumbuhannya seperti faktor Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA), tekhnologi, entrpreneurship dan faktor sosial. Dalam pertumbuhan ekonomi terdapat kegiatan ekonomi yang menjadi tulang punggung pertumbuhannya meliputi kegiatan pertanian, pertambangan, industri, energi, konstruksi, perdagangan, transportasi ataupun jasa-jasa lainnya. Seperti penjelasan diatas bahwa untuk memenuhi kebutuhan manusia secara cepat hanya dapat dilakukan dengan industrialisasi. Selain memenuhi kebutuhan manusia, industrialisasi juga memperluas lapangan pekerjaan, penunjang pemerataan pembangunan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lingkungan sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia karena segala sesuatu yang ada pada lingkungan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Manusia sebagai pemeran utama dalam menjaga interaksi dengan lingkungan karena diberkati dengan kemampuan yang lebih daripada makhluk lain. Kelebihan ini seharusnya dimanfaatkan untuk menjaga lingkungan hidup menjadi tempat yang nyaman dan menguntungkan pada setiap komponen didalamnya. Namun, kondisi ini akan berbalik karena setiap manusia memiliki akal dan cara pandang yang berbeda terhadap lingkungan yang cenderung memanfaatkan komponen lingkungan seperti SDA yang hanya untuk mengeruk keuntungan pribadi ataupun golongannya sehingga terjadi kerusakan lingkungan.

Kerusakan lingkungan dan degradasi SDA menanggung resiko yang besar terhadap manusia, seperti kekeringan, kekurangan pangan dan juga kerugian sosial yang ditimbulkannya. Kecenderungan peningkatan kerusakan lingkungan dipicu oleh tingginya pertumbuhan penduduk, meningkatnya kebutuhan ekonomi, keserakahan manusia ataupun ekspansi negara luar. Apabila kondisi ini semakin tidak terkendali maka terjadi over consumption dan kerusakan ataupun kelangkaan SDA akan semakin cepat terjadi.

Akibat dari pertumbuhan populasi penduduk yang pesat maka permintaan terhadap produksi SDA akan meningkat pula, kemudian diikuti dengan harga-harga melonjak secara tajam. Seperti peningkatan konsumsi JBU (Jenis BBM Umum) meningkat tajam dari 24.021,399 Kiloliter pada tahun 2006 menjadi 48.655.005,967Kiloliter pada tahun 2016 berdasarkan data dari BPH Migas. Sementara itu, kehilangan tutupan hutan di Indonesia juga mengalami peningkatan yang signifikan dari sekitar 200 ribu hektar pada tahun 2000 menjadi sekitar 730 ribu hektar pada tahun 2015 berdasarkan data dari World Resources Institute tahun 2015.

Selain kondisi pertumbuhan penduduk, bahwa kerusakan ekologi dipicu dari gagalnya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Kebijakan yang digunakan mengarah pada pemburu rente yaitu memanfaatkan kedekatan dengan penguasa yang berwenang dan diperparah dengan inefisiensi birokrasi yang tumpah tindih seperti yang dijelaskan sebelumnya yaitu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menyebabkan institusi tidak dapat diandalkan untuk memperbaiki kegiatan yang merusak lingkungan ini.

Respon terhadap perubahan lingkungan mengubah pola pikir dan perilaku manusia seperti, berubahnya mata pencaharian yang semula menjadi petani kemudian berubah menjadi pekerja tambang karena dianggap dapat mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi.

Perilaku sosial atau tingkah laku manusia (behavior) semata-mata dipahami sebagai sesuatu yang ditentukan oleh sesuatu rangsangan (stimulus) yang datang dari luar dirinya. Individu sebagai aktor tidak hanya sekedar penanggap pasif terhadap stimulus tetapi menginterpretasikan stimulus yang diterima itu. Masyarakat dipandang sebagai aktor kreatif dari realitas sosial, sehingga perubahan sosialpun dapat terjadi dan akan berdampak pada aspek lain khususnya interaksi sosial pada masyarakat (Rofiq A., 2008).

Faktor ekonomi dalam kehidupan sosial memegang peranan penting dalam menentukan tingkat status sosial seseorang. Secara  teoritis semua manusia dianggap sama sederajat. Akan tetapi, sesuai dengan kenyataanya hidup kelompok-kelompok sosial halnya tidak demikian. Perbedaan atas lapisan merupakan gejala universal yang merupakan bagian sistem sosial setiap masyarakat. Dalam menunjukkan statusnya, seseorang menggunakan simbol status supaya membedakan antara individu satu dengan yang lainnya. Setiap kegiatan yang dilakukan seseorang dalam kehidupan sehari-hari dapat mencerminkan status sosialnya menurut Barber Lobel (Sunarto; 2004:99). Sebagai contoh, golongan bangsawan biasanya mendapatkan gelar yang dapat membedakan mereka dengan orang biasa serta membedakan tingkatan di golongan mereka sendiri.

Faktor yang mempengaruhi status ekonomi sosial meliputi:
1.     Pendapatan. Christoper dalam Sumardi (2004) mendefinisikan pendapatan berdasarkan kamus ekonomi adalah uang yang diterima oleh seseorang dalam bentuk gaji, upah sewa, bunga, laba dan lain sebagainya.
2.     Pendidikan. Pendidikan berperan penting dalam kehidupan manusia, pendidikan dapat bermanfaat seumur hidup manusia contohnya lulusan S2, S3 ataupun menjadi professor.
3.  Pekerjaan. Dalam menentukan status sosial dalam bidang pekerjaan maka dapat ditentukan dengan jenis pekerjaan meliputi (1) pekerjaan berstatus tinggi contohnya tenaga ahli, pemimpin tata laksana, instansi pemerintah atau swasta, (2) pekerjaan berstatus sedang contohnya pada bidang penjualan dan jasa, (3) pekerjaan berstatus rendah contohnya petani, nelayan, operator bengkel dan lain sebagainya.
4.   Kepemilikan. Dapat diartikan sebagai pemilikan barang-barang yang berharga dapat digunakan untuk ukuran tersebut seperti tanah, emas, rumah, saham dan lainnya.
5.   Tempat tinggal. Menurut Kaare Svalastoga dalam Sumardi (2004) untuk mengukur tingkat sosial ekonomi seseorang dari rumahnya, dapat dilihat dari status rumah yang ditempati, kondisi fisik bangunan, besarnya rumah yang ditempati

Salah satu imbalan dari status yang tinggi adalah adanya pengakuan sebagai orang yang lebih berderajat tinggi. Sebagaimana halnya dengan aspek lain dalam struktur sosial, status menempatkan batas pada apa yang dapat atau tidak dapat kita lakukan. Karena status sosial merupakan bagian yang hakiki dalam struktur sosial, maka status sosial ditemukan dalam semua kelompok manusia (Henslin; 2007:94)

Setelah adanya industrialisasi dan urbanisasi, sebagian orang yang sebelumnya menjadi petani, peternak, nelayan atau pekerja yang dianggap rendah lainnya mengalami perubahan sosial. Perubahan status sosial yang dimaksud seperti perubahan tipe rumah yang lebih bagus, sumber pendapatan yang semakin meningkat, dan gaya hidup. Berbeda dengan kelas sosial rendah yang umumnya bersifat konservatif di bidang agama, moralitas, selera pakaian, selera makanan, cara baru perawatan kesehatan, cara mendidik anak, dan hal-hal lainnya, gaya hidup dan penampilan kelas sosial menengah dan atas umumnya lebih atraktif dan eksklusif. Mulai dari tutur kata, cara berpakaian, pilihan liburan, pemanfaatan waktu luang, pola berlibur dan sebagainya, antara kelas satu denga kelas yang lain umumnya tidak sama (Suyanto; 2004:183).

Gaya hidup yang ditampilkan antara kelas sosial satu dengan kelas sosial yang lain dalam banyak hal tidaklah sama, bahkan ada kecenderungan masing-masing kelas mencoba mengembangkan gaya hidup yang eksklusif untuk membedakan dirinya dengan kelas yang lain. Oleh karena itu setiap golongan sosial akan memperagakan gaya hidup spesifik sesuai dengan prestise yang mereka miliki sehingga perbedaan prestise antar gologan sosial akan menimbulkan perbedaan gaya hidup antar mereka. Sebaliknya peragaan gaya hidup yang berbeda antar golongan sosial akan menegaskan, memelihara, dan memperkuat perbedaan prestise antar mereka (Amaluddin: 1987:32)

Untuk mendapatkan status sosial yang baik ini maka seseorang harus mendapatkan keuntungan yang lebih dari usaha yang dilakukannya. Salah satunya adalah penguasaan SDA baik milik individu ataupun milik bersama (perusahaan/instansi). Masing-masing bentuk dalam penguasaan sumberdaya alam tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Pada sumberdaya alam milik bersama, status kepemilikannya diambangkan, tiap orang bebas dan terbuka untuk memperoleh manfaat. Berbeda dengan sumberdaya alam milik bersama, maka sumberdaya milik pribadi merupakan sumberdaya yang secara tegas dimiliki oleh orang-perorangan dan orang lain tidak dapat menguasai dan mengaturnya. Sedangkan sumberdaya milik kelompok /komunitas, adalah sumberdaya yang dikuasai oleh suatu kelompok /komunitas, karenanya orang atau kelompok lain tidak dapat mengambil manfaat sumberdaya tersebut tanpa izin kelompok yang menguasainya

Pemanfaatan sumberdaya milik umum secara ekspolitatif bermuara pada terjadinya tragedy of common.  Secara filofis terjadinya tragedy of common terkait dengan paradigma yang dipakai dalam memandang sumberdaya alam. Cara pandang yang dominan dan menjadi mainstrem utama dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah paradigma antroposentrisme, positivisme dan mekanistis. 3 Paradigma ini mewakili dan merupakan kelanjutan dari ekonomi liberal atau NeoLiberal, karena itu dikategorikan sebagai pandangan Liberalis atau Neo-Liberalis.

Perspektif Nilai Ekologi, Ekonomi dan Sosial Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Perspektif Nilai Ekologi, Ekonomi dan Sosial Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Reviewed by Deni Perdana on 10:17 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.